Rabu, 06 Februari 2013

Lonely soul


6 Februari 2013

Tidak ada hal istimewa hari ini. Semuanya berjalan biasa, terlalu biasa. Saking biasanya, saya tidak merasakan apapun, juga memikirkan apapun. Saya yakin, tidak berapa lama ini otak akan atrofi dengan sendirinya, yang diikuti ketumpulan hati.

Agaknya saya sedang dalam masa kebosanan yang luar biasa. Saya tidak menemukan sesuatu yang baik untuk ditertawakan. Saya tidak mendapati hal lucu untuk dijadikan candaan. Mengherankannya, meski dalam jiwa saya merasakan kesepian, saya tidak ingin menangis. Bukan masalah jijik atau anti. Saya sudah cukup bisa berbesar hati mengatakan pada diri sendiri bahwa lelaki boleh menangis. Asal tidak sering. Asal bukan karena sinetron. Asal tidak memakai tisu. 

Saya hanya ingin sendiri. Ingin berteman dengan diri sendiri supaya bisa merasakan kepenuhan akan diri dan berkontemplasi di dalamnya. Pikiran saya sudah terlalu liar, dan hati sudah tumpul untuk lebih peka dan mengerti akan orang lain. Saya perlu waktu untuk mengevaluasi diri dan merasakan lebih dalam keberadaan Tuhan. Menemukan makna akan hidup saya. My own life. Hidup ini membuat saya sibuk. Sibuk untuk hal yang remeh temeh. Menyedihkan.

Awal Tahun Baru kemarin, saya berencana mencari sebuah Vihara untuk bermeditasi. Saya ingin merasakan kembali keterasingan di tempat yang berbeda dan mendapatkan sambutan hangat dari orang yang belum pernah saya temui. Gereja sudah sering saya sambangi. Memang, selalu saya menemukan kenyamanan disana. Tapi yang saya butuhkan kali ini lebih dari sekedar kenyamanan. Saya ingin jiwa saya dipuaskan dan ditegaskan, bahwa saya ada untuk sesuatu yang lebih dari sekedar yang saya pikirkan. Sekali lagi, ternyata saya sibuk. Sibuk untuk hal-hal yang seharusnya tidak sibuk.

Sudah lama saya tidak merasakan kesepiannya jiwa ditengah keramaian. Ya, saya memiliki keluarga yang luar biasa dan teman-teman yang hebat yang bisa membuat saya bahagia. Tapi ada sesuatu yang hilang. Dan itu terasa begitu sunyi, dingin, dan sepi.

Saya pikir itu saja...
Otak ini tidak menemukan kata-kata lagi untuk berbicara.
Perasaan ini pun tak kunjung mendapati labuhan suaranya.
Jiwa...
Masih dalam kesepian dan kesendiriannya.
Itulah hidup.

Tapi sungguh, hal ini sangat merepotkan...



Suatu siang di ruang Multimedia RS. Immanuel dengan topeng yang luar biasa sempurna untuk menutupi kegundahan...


Minggu, 03 Februari 2013

3 Anak Kecil


Siang tadi ada bunyi bel dikosan. Sebenernya gw ngerasa, bel itu adalah bunyi yang ditujukan buat gw. Dengan kata lain, ya tamu gw. Cuma karena malas turun dan merasa feeling itu berlebihan, jadi gw abaikan saja. Apalagi ternyata opa juga tidak memanggil sebagaimana yang lazimnya dia lakukan bila gw kedatangan tamu atau paket. Tapi feeling tidak pernah salah. Bel itu memang buat gw.

                Barusan opa kosan naik ke atas dan memberi kabar, kalau hari ini gw kedatangan tamu yang sama 2x. Tadi pagi dan tadi siang. Berhubung opa taunya tadi pagi gw pergi gereja, so dia sampaikan kepada tamu-tamu ini untuk datang kembali siang hari. Siapa tau sudah pulang. Siang sih sudah pulang, Cuma agaknya opa tidak tahu bahwa gw sudah di kamar. So, tamu-tamu gw itu kembali pulang.

Oya, gw belum kasi tau ya siapa tamu-tamu ini? Jadi mereka ini adalah 3 anak kecil yang ada di rumah singgah di depan kosan. Mereka ini tinggal di 1 rumah oleh yayasan dari gereja yang bekerja sama dengan pemerintah Korea untuk menampung anak-anak ini. Mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu. Maka, dibawalah mereka ini ke Bandung untuk disekolahkan, sehingga mudah-mudahan masa depan mereka akan jauh lebih baik.

                Dua diantara mereka adalah kakak adik, orang Batak. Seorang yang lain orang Ambon. Mereka ini adalah anak-anak yang manis. Kalau bertemu di jalan, mereka tidak pernah lupa untuk mencium tangan gw dan tertawa. Gw baru sekali sih singgah ke rumah singgah mereka ini, pas Natal kemarin untuk ngasi sedikit kado. Sempat gw janjikan untuk mengajari mereka bahasa Inggris bila gw pulang dari Rumah Sakit. Tapi sudah keburu PBL di Cianjur, jadi janji itu masih belum tergenapi.

                Ya, itu sedikit tentang mereka. 

Jadi, setelah opa ngasi kabar, gw ambil beberapa tas sisa souvenir acara Natal koas taon kemarin dan 2 bungkus coklat, turun dan segera ke rumah mereka. Iya, kemarin pas ketemu gw ngejanjiin ngasi coklat. Dan karena itulah maka mereka datang ke kosan menagih janji. Dua kali pula. Dan pulang dengan tangan hampa. Kasian. That’s why, gw harus langsung ke rumah mereka ngasi itu coklat agar harapan mereka tidak hilang.

                Itu kan cuma coklat. Gak usah berlebihan tentang harapan deg...

Mungkin itu yang kalian pikirkan yah? Meeeennn.. Kalau kalian banyak gaul sama anak-anak, hal yang remeh temeh semacam itu adalah penting buat mereka. Ini bukan sekedar materinya. Tapi rasa sukacita yang mereka dapatkan ketika janji itu diberikan. Coba deg kilas balik waktu kita kecil. Siapa yang tidak senang dijanjikan baju baru ketika hari raya tiba? Walaupun baju itu ternyata Cuma dibeli di pasar baru yang harganya mungkin Cuma 20 ribu. Siapa peduli? Kita Cuma anak-anak. Yang kita tau hanyalah menikmati bahagianya memakai baju baru, dan menangis ketika baju baru itu ketumpahan minuman.

                Oya, tadi pas balik, gw coba itung berapa langkah sih jarak dari rumah mereka ke kos. Mulainya pas pertengahan jalan. Ternyata, dari tengah-tengah jarak itu hingga ke kosan, Cuma 50 langkah. Yang berarti, ada sekitar 100 langkah saja. Kurang mungkin, mengingat gak tengah-tengah amat gw mulainya. Meeen, kentut dari jarak segitu masih bisa keciuman tuh. Dengan kata lain, gak ada alasan buat gw untuk tidak kesana langsung. Ya nggak sih?

Itu saja cerita sore hari ini. Dimana gw dalam kondisi lelah secara fisik dan kesepian secara jiwa, tapi momen yang barusan gw alami cukup menghangatkan. Asik ya bahasa gue? Silahkan muntah, kawan-kawan...

Ps. “Ya nggak sih?” Ini adalah kalimat seorang konsulen cantik yang gw puja sepanjang masa. So cute when she said it...

Bandung, 3 Februari 2013
When life feels so weary and soul so lonely...
               

Rabu, 09 Januari 2013

Puasa


Bandung lagi demen mandi. Tiap hari ujan mulu. Tadi malem jam 12, ujan. Jam 3 subuh pun masih ujan. Sekarang, juga ujan. Enaknya memang tidur. Tapi berhubung lagi banyak pikiran, jadi gak bisa tidur. Enaknya yang lain juga adalah, baca buku sambil minum cappuccino anget. Ah, bener-bener enak tuh. Tapi sayang, gw lagi puasa.

Puasa?

Hahahaha. Iya nih, gw lagi coba puasa lagi. Udah bertaon-taon gw kagak puasa. Kalo bukan karena tidak tahan lapar, seringnya kelupaan. Makanya, dalam setiap kepanitiaan retreat atau kepanitiaan persekutuan lainnya yang mewajibkan pengurusnya puasa, bisa dipastikan gw hanya mesam-mesem aja ketika ditanya,”Sudah puasa kan hari ini?”. Atau paling pol nyengir. Siapa tau, dengan mamerin gigi gue yang putih ini, kealpaan gw bisa dimaklumi.. :D

Gw tidak pernah berkeinginan puasa. Gak kuat dan gak niat. Tapi kali ini sepertinya gw harus mencoba. Tahun 2013 harus dimulai dengan langkah-langkah yang baik. Karena itu, ketika seorang temen (Tengkyu Astrid Priscilla) menyarankan untuk puasa, gw coba ikutin. Apalagi ini demi sesuatu yang gw doain.
Yeah, emang busuk banget gue ye sebagai manusia. Giliran ada maunya, langsung dah doa puasa macam begini. Coba aja kalo idup gw lancar jaya bebas hambatan, doa pun bakal lupa. 

Dalam tulisan ini gw gak akan menceritakan hal yang menjadi dasar gw berpuasa. Terlalu vulgar, ntar gw gak jadi cowok yang misterius lagi gitu deh. Gw hanya mau ceritain gimana rasanya puasa. Bagi kalian yang beragama Muslim pasti udah tau dan kenal banget dengan yang namanya puasa. Salah satu rukun Islam bukan? Dan wajib hukumnya. Nah, buat gue dan temen-temen yang Kristen kan gak ada kewajiban puasa. Puasa hanya bagi orang-orang yang ‘niat’ dan yang punya permintaan khusus kayak gue ini. Hahahaha
Kekhawatiran gue bahwa gue gak akan mampu puasa ternyata tidak terbukti. Gue tidak ngiler melihat temen-temen makan. Gue tidak merasa lemes apalagi gemeteran. Mungkin karena seharian padet banget di RS, jadi gak kerasa bahwa gue puasa. That’s good tuh! Apalagi setelah gue itung-itung, sehari ini gue hemat 22 rebu. Rinciannya :

  1.        Katering Oma 6500 rupiah 
  2.        Roti bakar + Es Milo pak Ano 7000 rupiah
  3.    Kitkat potongan kecil 3000 rupiah
  4.    Grape Float KFC depan kampus 5500 rupiah
Kaget badan kurus cemilannya banyak? Biasa, untuk menjadi manusia berdosa kayak gue butuh asupan glukosa yang banyak. Makanya, kalo ndak mau berdosa, kurangi makanan yang manis-manis. Eh, ini serius. Kapan-kapan gw ulas tentang makanan manis ditinjau dari sisi agama dan medis. Keren yak gue? *Digampar*

Itu aja sih. Gak penting? Memang. Gue hanya mencoba untuk terus bisa menulis tiap hari. Salah satu project yang mau goal-in tahun ini bersumber dari tulisan-tulisan gue. Jadi kalo gue gak berlatih, gw akan terus dibawah bayang-bayang temen gue yang dokter dan sekaligus penulis juga (Tungguin mahakarya gue ya, Sandra? :) ). 

Saatnya gue gereja. Ada doa malem. Bukan, ini bukan karena gue rohani. Tapi sebelum doa malem selalu ada makan malam gratis. Dan makanannya selalu enak-enak. Doa malem hanya atribut gue aje biar terkesan keren. Makan malamnya itu loh! Hahahaha

Tuhan berkati kalian, teman..

9 januari 2013. Di kamar kos. Nothing special...

Selasa, 08 Januari 2013

Grace, anak sekolah minggu gue

Selamat Tahun Baru, guys..

Wah, sudah terlalu lama ini blog gw anggurin. Betapa merindunya tangan ini bersinergi dengan otak untuk mengejawantahkan yang terpatri di hati dalam bentuk tulisan. See? Terlalu lama tidak menulis membuat bahasa gue jadi puitis yang overdosis.

 Sebelumnya, Selamat Natal dan Tahun Baru buat kita semua. Tahun yang baru, komitmen yang baru. Komitmen gue di tahun ini bisa selesai baca Alkitab. Sumpah dokter trus lanjut PTT. Menggemukkan badan, rasanya masih merupakan suatu kemustahilan untuk dijadikan resolusi. Rasanya gue harus menyerah dalam hal itu. Kalian bagaimana? Gue harap, tahun 2013 tidak menjadi musim kawin bagi kalian. Beranak pinak memang tujuan mulia. Tapi siklus hidup bukan hanya lahir-berak-sekolah-kawin-beranak-tua-menyesal-mati-masuk surga (mudah-mudahan). *Gue ngomong apa sik?

Di postingan perdana di tahun yang baru ini, gw mau mensharingkan tentang seorang anak sekolah minggu gue. Yeah, buat kalian yang belum tau, ini sekaligus jadi pengumuman bahwa gue adalah seorang guru sekolah minggu. Kaget ? Bagaimana mungkin gue yang dengan tampang mesum dan kelakuan absurd begini bisa jadi seseorang yang bertugas membawa anak-anak ke Jalan Kebenaran? Jalan setan, masih lebih masuk akal. Setidaknya begitulah komentar temen-temen gw. Gue kasi tau, teman. Ini masuk tahun ke 5 gue jadi laoshi di gereja gue di Bandung ini. Laoshi itu sebutan buat guru dalam bahasa Mandarin. Gereja gue gereja Chinese, pasalnya. Makin shock? Yuk, gw bantu kalian untuk masuk ke dalam decompensatio cordis (gagal jantung) ke cerita selanjutnya.

Tahun ajaran 2012-2013 ini gw megang kelas 2 SD. Total anak yang gue asuh itu 12 orang. Rata-rata manusia. Sebiji diantara mereka ada yang merupakan spesies Goblin. Kerjanya tukang bikin ribut terus. Ada juga yang langsung diimpor dari Madame Tussaud Museum. Bisa senyum sih, tapi terlalu pendiam. Ada juga yang terlihat begitu encim-encim. Baik dari busana maupun gaya bicara. Gue rasa, kalau dosen psikiatri memberi gue tes MMPI (Tes kepribadian yang terdiri dari 567 soal, dan hasilnya terdiri dari 14 lembar berupa grafik), deviasi status mental gue rasanya udah gak ketolong.

Tapi ada 1 anak yang khusus. Yang begitu spesial. Yang entah demi apa Tuhan memberi dia buat gue ajar lebih dari yang lain. Yang benar-benar membuat pelayanan gw tahun ini terasa lebih berbeban dan melelahkan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Nama anak ini Grace (bukan nama sebenarnya). Meskipun sudah kelas 2 SD, ternyata dia masih belum bisa membaca dan menulis. Jangankan menulis sebuah kalimat panjang, menulis sebuah kata saja sangat sulit baginya. Eh, jangankan kata, 3 bulan sebelum ini, ada beberapa huruf konsonan yang dia masih belum familiar. Stress ndak lo? Gw nggak. Gw depresi ringan-sedang. Gw mengetahui ketidakberesan ini ketika setiap kali gue meminta dia membuka ayat Alkitab, dia tidak pernah bisa. Hanya tersenyum saja. Awalnya gue pikir anak ini begitu pemalu. Tapi ternyata Grace ini memang belum bisa menemukan apa yang harus dia cari dalam kalimat.

Hasrat superhero yang gak kesampaian sejak kecil pun muncul dalam diri gue.”Gue harus bisa ngajarin dia membaca!”. Itu yang gue bilang sama diri sendiri. Meski tidak dibarengin tangan mengepal keatas dan bilang “Yes!” sambil lutut ditekuk sih. Maka, ketika kelas sekolah minggu sudah berakhir, gw meminta Grace untuk tetap tinggal sebentar di kelas. “Grace.. Nanti sampein sama mami kamu, kalo mulai minggu depan laoshi mau ajarin kamu membaca ya? Setengah jam saja sesudah sekolah minggu...”, demikian gw katakan sama Grace ini. Dia hanya mengangguk. Okeeey, beres! Minggu depan tinggal ajarin aja nih, pikir gw. Tapi yang namanya mulut manis sama kenyataan itu memang beda,kawan. Minggu depannya begitu kelas bubar, Grace ini langsung menghilang. Gw cari-cari tapi ndak ketemu. Sampai gw menemukan Grace ini sembunyi dibalik pilar bersama ibunya. Ternyata niatan gue tidak disambut baik. Tapi bukan gue namanya kalo ndak keras kepala. Minggu depannya, gw hadang aja ni anak pas mau keluar. Gw kagak mau salaman sama dia (Di sekolah minggu ini, setelah kelas bubar, setiap anak wajib menyalami gurunya). So, dia gak akan bisa balik. Sadis? Ember. Hahahaha

So, mulailah gw ajar. Minggu pertama alfabet. Huruf besar dan huruf kecil. As my guess, she’s still cant. Minggu berikutnya juga masih. Kali ini dengan bernyanyi. Gw ajak dia bernyanyi pake gitar. Masih belum bisa. Minggu berikutnya dengan kertas-kertas berwarna. Wah,masih belum bisa dongs! Dan minggu-minggu berikutnya gw terus mencoba mencari cara supaya Grace ini bisa. Huruf-huruf akhirnya bisa sih, tapi kata masih belum. Segala metode gw lakuin. Mulai dari mengeja seperti INI IBU BUDI dan I-EN-I-NI. INI! Sampai membelikan buku tulis merangkai indah. Semuanya berakhir dengan antukan kepala gw di papan tulis saking depresi nya. Tiga bulan gw ajar, kemajuan yang di dapat hanyalah akhiran –NG yang bisa dikenal dan dibaca ENG. Hanya itu, tidak lebih. Akhiran –AH seperti kata RUMAH ataupun akhiran –AK seperti RUSAK seolah-olah tidak dikenalinya. Dalam ruangan ber AC, baju gw sudah basah oleh keringat. Hanya demi 1 anak.

Sampai kemarin, dengan assessment baru yang gw dapat dari seorang laoshi yang sedang mengambil master dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus pun, tetap menunjukkan tanda-tanda bahwa tidak ada harapan. Menggunakan gambar-gambar dan teknik khusus, seperti tiada ada efek apa-apa. Kecuali suaranya yang bisa lebih keras ternyata.

Gw sudah ngobrol dengan ibunya. Gw sudah nanya, apakah Grace ini memiliki masalah medis. Apa pernah dibawa ke dokter untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang salah darinya. Kata ibunya, belum, dan tidak ada masalah apa-apa. Gw juga sudah bertanya, bagaimana Grace ini belajar di sekolah dan dirumah. Kata ibunya :


  1. Di rumah saya yang ajarin. Bisa kok..
  2. Nilai Bahasa Inggris dan Matematikanya diatas 6,5 kok..
  3. Dia bisa mengikuti kok. Cuma belajarnya mengulang setelah apa yang dikatakan

Hey, ibuuuuu. Bagaimana bisa nilai bahasa inggris dan matematikanya bagus, sedangkan membaca kata dalam bahasa Indonesia saja masih belum bisa? Gw ngamuk sama ibu ini. Terus gw sepak dan tereak depan mukanya (Okay, ini hanya adegan dramatis aja). Tapi gw bener-bener gak terima kata-kata ibu ini. Antara ndak bisa nerima kenyataan, apakah gue yang gagal mengajar atau kata-kata ibu ini yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.


Gw selalu memberikan laporan perkembangan Grace ini sama ibunya. Gw paparin segamblang mungkin kemajuan dan perkembangan Grace yang sedikit sekali, malah terkesan mandek. Ibunya berterima kasih sekali sih sama gue. Tapi yang saya butuhin bukan terima kasih, Ibuuuuu. Saya membutuhkan bantuan ibu untuk ikut memacu motivasi Grace dan mengajarinya... *Nangis dan gantung diri*


Ah......


Semakin kesini, semakin sering suara gw meninggi dan kehabisan kesabaran setiap mengajar Grace. Entah udah berapa kali gw antukin kepala gw di dinding saking frustasinya. Gw gak tau sampe kapan gw masih bertahan mengajarinya. Bener-bener pengen nyerah..


Tapi seseorang yang dekat dengan gue terus memberi semangat dan bilang,”Coba lo tumpang tangan doain dia. Bilang dalam nama Yesus...”. Gw baru ngeh, wajar aja gue frustasi gini. Gw belum pernah ngedoain si Grace ini dari 3 bulan yang lalu. Doa aja gak pernah, apalagi tumpang tangan dalam nama Yesus. Shame on me...


Maka, hari Minggu kemarin, setelah 1 jam penuh frustasi mengajar disertai banjir keringat, gw ajak Grace ini berdoa. Gw tumpang tangan ngedoain dia. Gw menyerah dengan usaha gw, gw minta Tuhan yang turun tangan langsung. Hampir nangis itu pas ngedoain. Gimana enggak, 3 bulan penuh kesombongan gw merasa bisa ngajarin dia, ternyata gak sama sekali. Butuh Kuasa yang melampaui segala akal pikiran gue...


Gw sih yakin ya, gak dengan serta merta minggu depan Grace ini langsung bisa membaca hanya dengan 1 doa itu aja. Butuh step-step lanjutan dan butuh doa-doa lanjutan. Bahkan, mungkin aja Grace baru bisa membaca 1 atau 2 atau 5 tahun dari sekarang, kalau itu memang masterplannya Tuhan. Yang gw dapetin disini adalah, bukan Grace yang belajar. Tapi gw. Tuhan ingin melihat seberapa besar hasrat gw untuk mau Tuhan bentuk supaya ndak sombong, bahwa dengan kehebatan gue, gue bisa membuat Grace ini bisa membaca. Gw juga yakin, Tuhan kayak mau liat, apa iya gw masih mau melayani Dia, meski terlihat tidak ada kemajuan sama sekali. Apalagi Cuma demi seorang anak. Hati gw masih seperti awal pelayanan dulu atau nggak.


Berat yak melayani Tuhan? Apalagi Tuhan yang dilayani ini adalah Tuhan yang besar dan yang meminta totalitas dan kesempurnaan. Dalam hati pengen bilang,”Eh, God.. Gue ini gak sempurna dan berdosa. Mana bisa gue ngasi yang sempurna? Plis deg...”. Tapi gw juga yakin, seyakin-yakinnya. Dia akan bilang, “Hey, Son.. I knew you. Masakan Aku meminta engkau melakukan sesuatu yang tidak bisa kau lakukan? Bukannya ada Aku? Aku yang akan memampukanmu dan memperlengkapimu. Percaya saja padaKu..”

 Kalo Tuhan udah bilang gitu, mau ngomong apalagi?


Bandung, 8 Januari 2013.
*Ketika hujan deras di Bandung. Bahkan, segelas cappuccino hangat pun tidak bisa membawa kehangatan...

Sabtu, 15 September 2012

Kematian (From Facebook)

Sebenernya, tulisan ini sudah gue posting di Facebook. Alasan kenapa baru gue masukin blog adalah karena gue lupa passwordnya. Hal yang lucu. So, begitu udah bisa lagi, langsung gue masukin aja di sini. Selamat membaca, dan nantikan tulisan-tulisan gue yang lain... ^^

Kematian.


Bagi saya, Kematian adalah salah 1 topik yang sangat menarik untuk dibicarakan. Mendapatkan pemahaman bahwa kematian merupakan hal yang esensial, krusial, tapi bukan sial adalah upaya untuk mengerti apa arti hidup itu sesungguhnya . Memahami kematian dapat memberi pengertian apa itu hidup. Saya bersyukur, Paulo Coelho, pengarang favorit saya juga berpendapat demikian.

Banyak orang takut untuk mati. Jangankan mati, membicarakan kata “mati” itu pun dianggap sebagai salah satu pelecehan terhadap keberlangsungan hidup. Alasan ketimuran, ketidaksopanan, dijadikan kambing hitam untuk menabukan pembicaraan tentang kematian ini. Salah satu hal yang disayangkan.

Barusan (Baru saja) saya menonton sebuah acara televisi. Disitu diceritakan bahwa presenter acara ini ingin mati dalam keadaan tenang. Tidak sakit parah. Kalau bisa, mati dalam kedaan sedang beribadah kepada Tuhannya. Saya berpikir, ini pikiran yang sangat manusiawi sekali. Banyak orang menginginkan demikian. Tanpa proses tersiksa terlebih dahulu. Malah, mendapat image yang baik, jika proses mati itu dalam keadaan beribadah.

Sayapun demikian. Tidak ingin mati dalam keadaan sakit parah. Tapi mati dalam keadaan berdoa tidak pernah jadi prioritas saya. Bahkan menjadi keinginan pun tidak.

Telah lama saya bercita-cita ingin mati ketika bertugas sebagai tenaga medis. Entah itu karena tembakan yang meleset dalam sebuah perang di Kongo ketika saya mengobati luka seorang anak kecil (Oh, sejak kecil hingga sekarang, ke Afrika adalah salah 1 impian saya). Atau jatuh kedalam jurang di lereng pegunungan di Papua ketika mengemudi mobil yang membawa pasien saya untuk dirujuk. Bahkan kalau bisa, jasad saya tidak pernah ditemukan sehingga tidak ada monumen peringatan akan diri saya yang dibangun di Kabanjahe sana, dimana saya dilahirkan. Sebuah Cita-cita yang gila.

Sebagai seorang Batak, sering saya ikut berziarah ke pekuburan tempat dimana opung-opung serta Tulang-tulang (paman) saya dikuburkan. Tangisan selalu ada diantara kerabat ketika berziarah tersebut. Terutama ibu saya yang memang sentimentil (Dan kesentimentilan ini rupanya menurun ke saya. Hal yang saya syukuri, meski sering sekali merepotkan). Ini membuat saya berpikir, jika saya mati mendahului Bapak-Ibu saya, juga Abang dan Adik-adik saya, monumen kematian saya hanya akan membuat duka itu akan terasa mendalam bagi mereka. Begitupun jika salah satu dari mereka yang mendahului saya. Hal ini saya yakini mengingat hubungan kami begitu akrab, sehingga jangankan mati. Ketika salah satu dari kami bepergian keluar kota, itu saja sudah membuat kami sedih. Susah memang menjadi keluarga yang sentimentil.

Kembali ke topik mati tadi. Seperti yang saya bilang, mati itu seru lagi untuk dibicarakan. Bagaimana orang memandang kematian akan mengejawantahkan bagaimana mereka hidup. Ketika seseorang menganggap mati itu hanya hilangnya sebuah entitas tanpa ada kemungkinan bermanifestasi dalam entitas lain, tentu saja akan menghidupi kehidupannya dengan sekena dan ala kadarnya. Toh, cepat atau lambat akan berakhir. Bagi kalangan yang berputus asa, tentu akan segera mengakhiri kehidupan mereka. Sebuah pilihan yang luar biasa berani. Sayang sekali. Andai keberanian itu dipakai untuk menjalani hidup yang diberikan pada mereka, tentu kematian akan terasa lebih baik.

Coelho bahkan memberikan bagi dirinya sebuah penghargaan tentang kematian dalam karyanya ‘Veronika Memutuskan Untuk Mati’. Buku yang jangankan untuk dibaca, membelinya pun saya belum sempat, meski sudah sangat direkomendasikan oleh seorang teman. Juga J.K Rowling dalam Saga terakhirnya ‘Harry Potter dan Relikui Kematian’. Sebuah saga terbaik sepanjang sejarah, menurut saya. Apalagi penggambaran kematian yang menurut saya begitu indah atas kisah relikui dimana kematian digambarkan sebagai teman lama.

Tidakkah kita semua menyadari bahwa kematian itu terasa begitu dekat? Begitu karib ketimbang sahabat terbaik? Tapi mengapa justru hal itulah yang paling kita hindari dalam percakapan serius kita?

Kadang saya cemburu dengan mereka yang mati muda. Buat saya hal itu cool. Setidaknya, itulah yang terlihat. Padahal, kematian pun bisa datang dalam sosok penipu. Jika demikian, mati dalam kedaaan telanjang pun akan menjadi sebuah aib. Meski bisa saja ketelanjangan itu diakibatkan karena ada menyukai setelan mahal yang dikenakan yang mati itu dan lantas mengambilnya, tanpa sempat memakaikan sesuatu sebagai ganti yang pantas. Mati pun menjadi tidak keren lagi.

Kematian, dengan cara apapun dia memeluk kita, kedatangannya tidak akan pernah kita sadari. Bahkan kata “Hampir Mati” atau “Nyaris Mati” atau “Sedikit Lagi Mati” juga tidak akan bisa menggambarkan kematian itu sesungguhnya. Terbukti, tidak ada orang yang sudah mati kembali pada kita dan kemudian menceritakan pengalaman ‘seru’nya mati. Jadi, tidak akan ada saran-saran,”Cobain deh mati dengan cara begini!” atau “Kamu matinya jatuh dari Monas saja. Menegangkan tapi sebuah harga yang pantas...”

Kematian sama pantasnya dengan kehidupan yang dijalani sebaik-baiknya. Jika hidup telah dijalani sebagaimana mestinya sesuai dengan hasrat dan cinta yang ada, tanpa harus memenuhi tuntutan orang-orang ataupun demi sebuah pembuktian, maka kematian adalah sebuah medali untuk kehidupan berikutnya yang seindah yang telah dijalaninya. Bahkan lebih indah. Yah, setidaknya keyakinan saya berkata demikian...

Bandung, 4 September2012
Pukul 21.40 WIB, ketika blackberry semakin susah diajak berkompromi

Sabtu, 28 Mei 2011

Berdiam diri

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa
ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan
suara kuat atau berteriak?"
Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab,
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena
itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut
pertimbangan mereka. Namun tak satu pun jawaban yang memuaskan.
Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarakantara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya,semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan, "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang
saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apa pun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?"
Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan.

Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka
memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan,

"Ketika Anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang
bijaksana. Karena waktu akan membantu Anda..............."



Banyak membaca sangat membantu kita dalam belajar tentang hidup. Seperti cerita yang saya bagi di atas. Saya sudah lupa kapan mebaca cerita itu. Juga tidak tahu lagi sumber pertamanya darimana. Tapi meski demikian, cerita itu begitu melekat di otak saya, sehingga membantu saya untuk berdiam sejenak. Sama seperti kalimat yang dibold, lagi marah. Ya, ceritanya lagi marah nih ^^

Hal yang menjadikan sulit buat seorang seperti saya ketika marah adalah, saya terlalu memakai perasaan. Kalaupun saya bisa mengesampingkan perasaan yang menjadi milik kepunyaan saya secara pribadi, tapi hal itu tidak berlaku untuk perasaan yg menjadi antisubjek saya. Dalam pemahaman dan perenungan yang terus saya pelajari, setiap kata-kata adalah berdampak adanya. Di samping itu, saya mengamini pula bahwa hubungan antar personal jauh lebih penting ketimbang mempertahankan perasaan pribadi. Meski, alangkah lebih baik jika keduanya dapat dipertahankan. Tapi siapa yang bisa menduga bahwa kita harus menerima dengan lapang dada bahwa hanya ada satu dari antaranya yang bisa kita dapatkan?

Tapi bagaimanapun juga, terlepas dari benar atau salah, kita atau mereka, berdiam diri adalah cara yang paling bijak untuk saat ini. Bukan untuk menunjukkan kemenangan bahwa "Saya bisa lho melawan ego pribadi saya" atau "Pokoknya, dia harus tahu apa yang telah dilakukannya pada saya!". Bukan..

Berdiam diri adalah saatnya untuk berdamai dengan emosi yang ada, serta dengan besar hati menerima perbedaan, dan tetap melanjutkan hubungan baik itu dengan senyuman, seolah-olah kemarahan itu tidak pernah terjadi.

Pelajaran yang sulit. Dan itu yang saya rasakan saat ini...

Kamis, 26 Mei 2011

My voice within

You know why i hated phoems that much?
They brought sorrows and show sadness.
Brought me like a nothin' in such,
And made me feels useless..

I tried to avoid it at every moments,
Not only in the past but now either.
They just like the side of my cents,
Never apart but belong together..

I don't know why i am writing
Maybe my feelings ask me to.
Instead of showing nothing,
I gotta do what should i do..


"Be gone, be gone all misery", my heart say..
Cos i'll be still and have a pray...


Bandung, 17 Mei 2011

Ketika hujan