Sabtu, 28 Mei 2011

Berdiam diri

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa
ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan
suara kuat atau berteriak?"
Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab,
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena
itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut
pertimbangan mereka. Namun tak satu pun jawaban yang memuaskan.
Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarakantara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya,semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan, "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang
saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apa pun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?"
Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan.

Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka
memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan,

"Ketika Anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang
bijaksana. Karena waktu akan membantu Anda..............."



Banyak membaca sangat membantu kita dalam belajar tentang hidup. Seperti cerita yang saya bagi di atas. Saya sudah lupa kapan mebaca cerita itu. Juga tidak tahu lagi sumber pertamanya darimana. Tapi meski demikian, cerita itu begitu melekat di otak saya, sehingga membantu saya untuk berdiam sejenak. Sama seperti kalimat yang dibold, lagi marah. Ya, ceritanya lagi marah nih ^^

Hal yang menjadikan sulit buat seorang seperti saya ketika marah adalah, saya terlalu memakai perasaan. Kalaupun saya bisa mengesampingkan perasaan yang menjadi milik kepunyaan saya secara pribadi, tapi hal itu tidak berlaku untuk perasaan yg menjadi antisubjek saya. Dalam pemahaman dan perenungan yang terus saya pelajari, setiap kata-kata adalah berdampak adanya. Di samping itu, saya mengamini pula bahwa hubungan antar personal jauh lebih penting ketimbang mempertahankan perasaan pribadi. Meski, alangkah lebih baik jika keduanya dapat dipertahankan. Tapi siapa yang bisa menduga bahwa kita harus menerima dengan lapang dada bahwa hanya ada satu dari antaranya yang bisa kita dapatkan?

Tapi bagaimanapun juga, terlepas dari benar atau salah, kita atau mereka, berdiam diri adalah cara yang paling bijak untuk saat ini. Bukan untuk menunjukkan kemenangan bahwa "Saya bisa lho melawan ego pribadi saya" atau "Pokoknya, dia harus tahu apa yang telah dilakukannya pada saya!". Bukan..

Berdiam diri adalah saatnya untuk berdamai dengan emosi yang ada, serta dengan besar hati menerima perbedaan, dan tetap melanjutkan hubungan baik itu dengan senyuman, seolah-olah kemarahan itu tidak pernah terjadi.

Pelajaran yang sulit. Dan itu yang saya rasakan saat ini...

Tidak ada komentar: