Sebenernya, tulisan ini sudah gue posting di Facebook. Alasan kenapa baru gue masukin blog adalah karena gue lupa passwordnya. Hal yang lucu. So, begitu udah bisa lagi, langsung gue masukin aja di sini. Selamat membaca, dan nantikan tulisan-tulisan gue yang lain... ^^
Kematian.
Bagi saya, Kematian adalah salah 1 topik yang sangat menarik untuk dibicarakan. Mendapatkan pemahaman bahwa kematian merupakan hal yang esensial, krusial, tapi bukan sial adalah upaya untuk mengerti apa arti hidup itu sesungguhnya . Memahami kematian dapat memberi pengertian apa itu hidup. Saya bersyukur, Paulo Coelho, pengarang favorit saya juga berpendapat demikian.
Banyak orang takut untuk mati. Jangankan mati, membicarakan kata “mati” itu pun dianggap sebagai salah satu pelecehan terhadap keberlangsungan hidup. Alasan ketimuran, ketidaksopanan, dijadikan kambing hitam untuk menabukan pembicaraan tentang kematian ini. Salah satu hal yang disayangkan.
Barusan (Baru saja) saya menonton sebuah acara televisi. Disitu diceritakan bahwa presenter acara ini ingin mati dalam keadaan tenang. Tidak sakit parah. Kalau bisa, mati dalam kedaan sedang beribadah kepada Tuhannya. Saya berpikir, ini pikiran yang sangat manusiawi sekali. Banyak orang menginginkan demikian. Tanpa proses tersiksa terlebih dahulu. Malah, mendapat image yang baik, jika proses mati itu dalam keadaan beribadah.
Sayapun demikian. Tidak ingin mati dalam keadaan sakit parah. Tapi mati dalam keadaan berdoa tidak pernah jadi prioritas saya. Bahkan menjadi keinginan pun tidak.
Telah lama saya bercita-cita ingin mati ketika bertugas sebagai tenaga medis. Entah itu karena tembakan yang meleset dalam sebuah perang di Kongo ketika saya mengobati luka seorang anak kecil (Oh, sejak kecil hingga sekarang, ke Afrika adalah salah 1 impian saya). Atau jatuh kedalam jurang di lereng pegunungan di Papua ketika mengemudi mobil yang membawa pasien saya untuk dirujuk. Bahkan kalau bisa, jasad saya tidak pernah ditemukan sehingga tidak ada monumen peringatan akan diri saya yang dibangun di Kabanjahe sana, dimana saya dilahirkan. Sebuah Cita-cita yang gila.
Sebagai seorang Batak, sering saya ikut berziarah ke pekuburan tempat dimana opung-opung serta Tulang-tulang (paman) saya dikuburkan. Tangisan selalu ada diantara kerabat ketika berziarah tersebut. Terutama ibu saya yang memang sentimentil (Dan kesentimentilan ini rupanya menurun ke saya. Hal yang saya syukuri, meski sering sekali merepotkan). Ini membuat saya berpikir, jika saya mati mendahului Bapak-Ibu saya, juga Abang dan Adik-adik saya, monumen kematian saya hanya akan membuat duka itu akan terasa mendalam bagi mereka. Begitupun jika salah satu dari mereka yang mendahului saya. Hal ini saya yakini mengingat hubungan kami begitu akrab, sehingga jangankan mati. Ketika salah satu dari kami bepergian keluar kota, itu saja sudah membuat kami sedih. Susah memang menjadi keluarga yang sentimentil.
Kembali ke topik mati tadi. Seperti yang saya bilang, mati itu seru lagi untuk dibicarakan. Bagaimana orang memandang kematian akan mengejawantahkan bagaimana mereka hidup. Ketika seseorang menganggap mati itu hanya hilangnya sebuah entitas tanpa ada kemungkinan bermanifestasi dalam entitas lain, tentu saja akan menghidupi kehidupannya dengan sekena dan ala kadarnya. Toh, cepat atau lambat akan berakhir. Bagi kalangan yang berputus asa, tentu akan segera mengakhiri kehidupan mereka. Sebuah pilihan yang luar biasa berani. Sayang sekali. Andai keberanian itu dipakai untuk menjalani hidup yang diberikan pada mereka, tentu kematian akan terasa lebih baik.
Coelho bahkan memberikan bagi dirinya sebuah penghargaan tentang kematian dalam karyanya ‘Veronika Memutuskan Untuk Mati’. Buku yang jangankan untuk dibaca, membelinya pun saya belum sempat, meski sudah sangat direkomendasikan oleh seorang teman. Juga J.K Rowling dalam Saga terakhirnya ‘Harry Potter dan Relikui Kematian’. Sebuah saga terbaik sepanjang sejarah, menurut saya. Apalagi penggambaran kematian yang menurut saya begitu indah atas kisah relikui dimana kematian digambarkan sebagai teman lama.
Tidakkah kita semua menyadari bahwa kematian itu terasa begitu dekat? Begitu karib ketimbang sahabat terbaik? Tapi mengapa justru hal itulah yang paling kita hindari dalam percakapan serius kita?
Kadang saya cemburu dengan mereka yang mati muda. Buat saya hal itu cool. Setidaknya, itulah yang terlihat. Padahal, kematian pun bisa datang dalam sosok penipu. Jika demikian, mati dalam kedaaan telanjang pun akan menjadi sebuah aib. Meski bisa saja ketelanjangan itu diakibatkan karena ada menyukai setelan mahal yang dikenakan yang mati itu dan lantas mengambilnya, tanpa sempat memakaikan sesuatu sebagai ganti yang pantas. Mati pun menjadi tidak keren lagi.
Kematian, dengan cara apapun dia memeluk kita, kedatangannya tidak akan pernah kita sadari. Bahkan kata “Hampir Mati” atau “Nyaris Mati” atau “Sedikit Lagi Mati” juga tidak akan bisa menggambarkan kematian itu sesungguhnya. Terbukti, tidak ada orang yang sudah mati kembali pada kita dan kemudian menceritakan pengalaman ‘seru’nya mati. Jadi, tidak akan ada saran-saran,”Cobain deh mati dengan cara begini!” atau “Kamu matinya jatuh dari Monas saja. Menegangkan tapi sebuah harga yang pantas...”
Kematian sama pantasnya dengan kehidupan yang dijalani sebaik-baiknya. Jika hidup telah dijalani sebagaimana mestinya sesuai dengan hasrat dan cinta yang ada, tanpa harus memenuhi tuntutan orang-orang ataupun demi sebuah pembuktian, maka kematian adalah sebuah medali untuk kehidupan berikutnya yang seindah yang telah dijalaninya. Bahkan lebih indah. Yah, setidaknya keyakinan saya berkata demikian...
Bandung, 4 September2012
Pukul 21.40 WIB, ketika blackberry semakin susah diajak berkompromi
2 komentar:
Found this note unintentionally. In Christ, mati adalah untung kan yah :)
Yoi. Hahaha. Keep reading ya...
Posting Komentar