Selamat Tahun Baru, guys..
Wah, sudah terlalu lama ini blog gw anggurin.
Betapa merindunya tangan ini bersinergi dengan otak untuk mengejawantahkan yang
terpatri di hati dalam bentuk tulisan. See? Terlalu lama tidak menulis membuat
bahasa gue jadi puitis yang overdosis.
Sebelumnya, Selamat Natal dan Tahun Baru buat kita
semua. Tahun yang baru, komitmen yang baru. Komitmen gue di tahun ini bisa
selesai baca Alkitab. Sumpah dokter trus lanjut PTT. Menggemukkan badan,
rasanya masih merupakan suatu kemustahilan untuk dijadikan resolusi. Rasanya
gue harus menyerah dalam hal itu. Kalian bagaimana? Gue harap, tahun 2013 tidak
menjadi musim kawin bagi kalian. Beranak pinak memang tujuan mulia. Tapi siklus
hidup bukan hanya lahir-berak-sekolah-kawin-beranak-tua-menyesal-mati-masuk
surga (mudah-mudahan). *Gue ngomong apa sik?
Di postingan perdana di tahun yang baru ini,
gw mau mensharingkan tentang seorang anak sekolah minggu gue. Yeah, buat kalian
yang belum tau, ini sekaligus jadi pengumuman bahwa gue adalah seorang guru
sekolah minggu. Kaget ? Bagaimana mungkin gue yang dengan tampang mesum dan
kelakuan absurd begini bisa jadi seseorang yang bertugas membawa anak-anak ke
Jalan Kebenaran? Jalan setan, masih lebih masuk akal. Setidaknya begitulah
komentar temen-temen gw. Gue kasi tau, teman. Ini masuk tahun ke 5 gue jadi
laoshi di gereja gue di Bandung ini. Laoshi itu sebutan buat guru dalam bahasa
Mandarin. Gereja gue gereja Chinese, pasalnya. Makin shock? Yuk, gw bantu
kalian untuk masuk ke dalam decompensatio cordis (gagal jantung) ke cerita
selanjutnya.
Tahun ajaran 2012-2013 ini gw megang kelas 2
SD. Total anak yang gue asuh itu 12 orang. Rata-rata manusia. Sebiji diantara
mereka ada yang merupakan spesies Goblin. Kerjanya tukang bikin ribut terus.
Ada juga yang langsung diimpor dari Madame Tussaud Museum. Bisa senyum sih, tapi
terlalu pendiam. Ada juga yang terlihat begitu encim-encim. Baik dari busana
maupun gaya bicara. Gue rasa, kalau dosen psikiatri memberi gue tes MMPI (Tes
kepribadian yang terdiri dari 567 soal, dan hasilnya terdiri dari 14 lembar
berupa grafik), deviasi status mental gue rasanya udah gak ketolong.
Tapi ada 1 anak yang khusus. Yang begitu
spesial. Yang entah demi apa Tuhan memberi dia buat gue ajar lebih dari yang
lain. Yang benar-benar membuat pelayanan gw tahun ini terasa lebih berbeban dan
melelahkan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Nama anak ini Grace (bukan nama sebenarnya).
Meskipun sudah kelas 2 SD, ternyata dia masih belum bisa membaca dan menulis.
Jangankan menulis sebuah kalimat panjang, menulis sebuah kata saja sangat sulit
baginya. Eh, jangankan kata, 3 bulan sebelum ini, ada beberapa huruf konsonan
yang dia masih belum familiar. Stress ndak lo? Gw nggak. Gw depresi
ringan-sedang. Gw mengetahui ketidakberesan ini ketika setiap kali gue meminta
dia membuka ayat Alkitab, dia tidak pernah bisa. Hanya tersenyum saja. Awalnya
gue pikir anak ini begitu pemalu. Tapi ternyata Grace ini memang belum bisa
menemukan apa yang harus dia cari dalam kalimat.
Hasrat superhero yang gak kesampaian sejak
kecil pun muncul dalam diri gue.”Gue harus bisa ngajarin dia membaca!”. Itu
yang gue bilang sama diri sendiri. Meski tidak dibarengin tangan mengepal
keatas dan bilang “Yes!” sambil lutut ditekuk sih. Maka, ketika kelas sekolah
minggu sudah berakhir, gw meminta Grace untuk tetap tinggal sebentar di kelas.
“Grace.. Nanti sampein sama mami kamu, kalo mulai minggu depan laoshi mau
ajarin kamu membaca ya? Setengah jam saja sesudah sekolah minggu...”, demikian
gw katakan sama Grace ini. Dia hanya mengangguk. Okeeey, beres! Minggu depan
tinggal ajarin aja nih, pikir gw. Tapi yang namanya mulut manis sama kenyataan
itu memang beda,kawan. Minggu depannya begitu kelas bubar, Grace ini langsung
menghilang. Gw cari-cari tapi ndak ketemu. Sampai gw menemukan Grace ini
sembunyi dibalik pilar bersama ibunya. Ternyata niatan gue tidak disambut baik.
Tapi bukan gue namanya kalo ndak keras kepala. Minggu depannya, gw hadang aja
ni anak pas mau keluar. Gw kagak mau salaman sama dia (Di sekolah minggu ini,
setelah kelas bubar, setiap anak wajib menyalami gurunya). So, dia gak akan bisa
balik. Sadis? Ember. Hahahaha
So, mulailah gw ajar. Minggu pertama alfabet.
Huruf besar dan huruf kecil. As my guess, she’s still cant. Minggu berikutnya
juga masih. Kali ini dengan bernyanyi. Gw ajak dia bernyanyi pake gitar. Masih
belum bisa. Minggu berikutnya dengan kertas-kertas berwarna. Wah,masih belum
bisa dongs! Dan minggu-minggu berikutnya gw terus mencoba mencari cara supaya
Grace ini bisa. Huruf-huruf akhirnya bisa sih, tapi kata masih belum. Segala
metode gw lakuin. Mulai dari mengeja seperti INI IBU BUDI dan I-EN-I-NI. INI!
Sampai membelikan buku tulis merangkai indah. Semuanya berakhir dengan antukan
kepala gw di papan tulis saking depresi nya. Tiga bulan gw ajar, kemajuan yang
di dapat hanyalah akhiran –NG yang bisa dikenal dan dibaca ENG. Hanya itu,
tidak lebih. Akhiran –AH seperti kata RUMAH ataupun akhiran –AK seperti RUSAK
seolah-olah tidak dikenalinya. Dalam ruangan ber AC, baju gw sudah basah oleh
keringat. Hanya demi 1 anak.
Sampai kemarin, dengan assessment baru yang gw
dapat dari seorang laoshi yang sedang mengambil master dalam bidang pendidikan
anak berkebutuhan khusus pun, tetap menunjukkan tanda-tanda bahwa tidak ada
harapan. Menggunakan gambar-gambar dan teknik khusus, seperti tiada ada efek
apa-apa. Kecuali suaranya yang bisa lebih keras ternyata.
Gw sudah ngobrol dengan ibunya. Gw sudah
nanya, apakah Grace ini memiliki masalah medis. Apa pernah dibawa ke dokter
untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang salah darinya. Kata ibunya, belum, dan
tidak ada masalah apa-apa. Gw juga sudah bertanya, bagaimana Grace ini belajar
di sekolah dan dirumah. Kata ibunya :
- Di rumah saya yang ajarin. Bisa
kok..
- Nilai Bahasa Inggris dan
Matematikanya diatas 6,5 kok..
- Dia bisa mengikuti kok. Cuma
belajarnya mengulang setelah apa yang dikatakan
Hey, ibuuuuu. Bagaimana bisa nilai bahasa
inggris dan matematikanya bagus, sedangkan membaca kata dalam bahasa Indonesia
saja masih belum bisa? Gw ngamuk sama ibu ini. Terus gw sepak dan tereak depan
mukanya (Okay, ini hanya adegan dramatis aja). Tapi gw bener-bener gak terima
kata-kata ibu ini. Antara ndak bisa nerima kenyataan, apakah gue yang gagal
mengajar atau kata-kata ibu ini yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.
Gw selalu memberikan laporan perkembangan
Grace ini sama ibunya. Gw paparin segamblang mungkin kemajuan dan perkembangan
Grace yang sedikit sekali, malah terkesan mandek. Ibunya berterima kasih sekali
sih sama gue. Tapi yang saya butuhin bukan terima kasih, Ibuuuuu. Saya
membutuhkan bantuan ibu untuk ikut memacu motivasi Grace dan mengajarinya... *Nangis
dan gantung diri*
Ah......
Semakin kesini, semakin sering suara gw
meninggi dan kehabisan kesabaran setiap mengajar Grace. Entah udah berapa kali
gw antukin kepala gw di dinding saking frustasinya. Gw gak tau sampe kapan gw
masih bertahan mengajarinya. Bener-bener pengen nyerah..
Tapi seseorang yang dekat dengan gue terus
memberi semangat dan bilang,”Coba lo tumpang tangan doain dia. Bilang dalam
nama Yesus...”. Gw baru ngeh, wajar aja gue frustasi gini. Gw belum pernah
ngedoain si Grace ini dari 3 bulan yang lalu. Doa aja gak pernah, apalagi
tumpang tangan dalam nama Yesus. Shame on me...
Maka, hari Minggu kemarin, setelah 1 jam penuh
frustasi mengajar disertai banjir keringat, gw ajak Grace ini berdoa. Gw
tumpang tangan ngedoain dia. Gw menyerah dengan usaha gw, gw minta Tuhan yang
turun tangan langsung. Hampir nangis itu pas ngedoain. Gimana enggak, 3 bulan
penuh kesombongan gw merasa bisa ngajarin dia, ternyata gak sama sekali. Butuh
Kuasa yang melampaui segala akal pikiran gue...
Gw sih yakin ya, gak dengan serta merta minggu
depan Grace ini langsung bisa membaca hanya dengan 1 doa itu aja. Butuh
step-step lanjutan dan butuh doa-doa lanjutan. Bahkan, mungkin aja Grace baru
bisa membaca 1 atau 2 atau 5 tahun dari sekarang, kalau itu memang masterplannya
Tuhan. Yang gw dapetin disini adalah, bukan Grace yang belajar. Tapi gw. Tuhan
ingin melihat seberapa besar hasrat gw untuk mau Tuhan bentuk supaya ndak
sombong, bahwa dengan kehebatan gue, gue bisa membuat Grace ini bisa membaca.
Gw juga yakin, Tuhan kayak mau liat, apa iya gw masih mau melayani Dia, meski
terlihat tidak ada kemajuan sama sekali. Apalagi Cuma demi seorang anak. Hati
gw masih seperti awal pelayanan dulu atau nggak.
Berat yak melayani Tuhan? Apalagi Tuhan yang
dilayani ini adalah Tuhan yang besar dan yang meminta totalitas dan
kesempurnaan. Dalam hati pengen bilang,”Eh, God.. Gue ini gak sempurna dan
berdosa. Mana bisa gue ngasi yang sempurna? Plis deg...”. Tapi gw juga yakin,
seyakin-yakinnya. Dia akan bilang, “Hey, Son.. I knew you. Masakan Aku meminta
engkau melakukan sesuatu yang tidak bisa kau lakukan? Bukannya ada Aku? Aku
yang akan memampukanmu dan memperlengkapimu. Percaya saja padaKu..”
Kalo
Tuhan udah bilang gitu, mau ngomong apalagi?
Bandung, 8 Januari 2013.
*Ketika hujan deras di Bandung. Bahkan,
segelas cappuccino hangat pun tidak bisa membawa kehangatan...