Rabu, 09 Januari 2013

Puasa


Bandung lagi demen mandi. Tiap hari ujan mulu. Tadi malem jam 12, ujan. Jam 3 subuh pun masih ujan. Sekarang, juga ujan. Enaknya memang tidur. Tapi berhubung lagi banyak pikiran, jadi gak bisa tidur. Enaknya yang lain juga adalah, baca buku sambil minum cappuccino anget. Ah, bener-bener enak tuh. Tapi sayang, gw lagi puasa.

Puasa?

Hahahaha. Iya nih, gw lagi coba puasa lagi. Udah bertaon-taon gw kagak puasa. Kalo bukan karena tidak tahan lapar, seringnya kelupaan. Makanya, dalam setiap kepanitiaan retreat atau kepanitiaan persekutuan lainnya yang mewajibkan pengurusnya puasa, bisa dipastikan gw hanya mesam-mesem aja ketika ditanya,”Sudah puasa kan hari ini?”. Atau paling pol nyengir. Siapa tau, dengan mamerin gigi gue yang putih ini, kealpaan gw bisa dimaklumi.. :D

Gw tidak pernah berkeinginan puasa. Gak kuat dan gak niat. Tapi kali ini sepertinya gw harus mencoba. Tahun 2013 harus dimulai dengan langkah-langkah yang baik. Karena itu, ketika seorang temen (Tengkyu Astrid Priscilla) menyarankan untuk puasa, gw coba ikutin. Apalagi ini demi sesuatu yang gw doain.
Yeah, emang busuk banget gue ye sebagai manusia. Giliran ada maunya, langsung dah doa puasa macam begini. Coba aja kalo idup gw lancar jaya bebas hambatan, doa pun bakal lupa. 

Dalam tulisan ini gw gak akan menceritakan hal yang menjadi dasar gw berpuasa. Terlalu vulgar, ntar gw gak jadi cowok yang misterius lagi gitu deh. Gw hanya mau ceritain gimana rasanya puasa. Bagi kalian yang beragama Muslim pasti udah tau dan kenal banget dengan yang namanya puasa. Salah satu rukun Islam bukan? Dan wajib hukumnya. Nah, buat gue dan temen-temen yang Kristen kan gak ada kewajiban puasa. Puasa hanya bagi orang-orang yang ‘niat’ dan yang punya permintaan khusus kayak gue ini. Hahahaha
Kekhawatiran gue bahwa gue gak akan mampu puasa ternyata tidak terbukti. Gue tidak ngiler melihat temen-temen makan. Gue tidak merasa lemes apalagi gemeteran. Mungkin karena seharian padet banget di RS, jadi gak kerasa bahwa gue puasa. That’s good tuh! Apalagi setelah gue itung-itung, sehari ini gue hemat 22 rebu. Rinciannya :

  1.        Katering Oma 6500 rupiah 
  2.        Roti bakar + Es Milo pak Ano 7000 rupiah
  3.    Kitkat potongan kecil 3000 rupiah
  4.    Grape Float KFC depan kampus 5500 rupiah
Kaget badan kurus cemilannya banyak? Biasa, untuk menjadi manusia berdosa kayak gue butuh asupan glukosa yang banyak. Makanya, kalo ndak mau berdosa, kurangi makanan yang manis-manis. Eh, ini serius. Kapan-kapan gw ulas tentang makanan manis ditinjau dari sisi agama dan medis. Keren yak gue? *Digampar*

Itu aja sih. Gak penting? Memang. Gue hanya mencoba untuk terus bisa menulis tiap hari. Salah satu project yang mau goal-in tahun ini bersumber dari tulisan-tulisan gue. Jadi kalo gue gak berlatih, gw akan terus dibawah bayang-bayang temen gue yang dokter dan sekaligus penulis juga (Tungguin mahakarya gue ya, Sandra? :) ). 

Saatnya gue gereja. Ada doa malem. Bukan, ini bukan karena gue rohani. Tapi sebelum doa malem selalu ada makan malam gratis. Dan makanannya selalu enak-enak. Doa malem hanya atribut gue aje biar terkesan keren. Makan malamnya itu loh! Hahahaha

Tuhan berkati kalian, teman..

9 januari 2013. Di kamar kos. Nothing special...

Selasa, 08 Januari 2013

Grace, anak sekolah minggu gue

Selamat Tahun Baru, guys..

Wah, sudah terlalu lama ini blog gw anggurin. Betapa merindunya tangan ini bersinergi dengan otak untuk mengejawantahkan yang terpatri di hati dalam bentuk tulisan. See? Terlalu lama tidak menulis membuat bahasa gue jadi puitis yang overdosis.

 Sebelumnya, Selamat Natal dan Tahun Baru buat kita semua. Tahun yang baru, komitmen yang baru. Komitmen gue di tahun ini bisa selesai baca Alkitab. Sumpah dokter trus lanjut PTT. Menggemukkan badan, rasanya masih merupakan suatu kemustahilan untuk dijadikan resolusi. Rasanya gue harus menyerah dalam hal itu. Kalian bagaimana? Gue harap, tahun 2013 tidak menjadi musim kawin bagi kalian. Beranak pinak memang tujuan mulia. Tapi siklus hidup bukan hanya lahir-berak-sekolah-kawin-beranak-tua-menyesal-mati-masuk surga (mudah-mudahan). *Gue ngomong apa sik?

Di postingan perdana di tahun yang baru ini, gw mau mensharingkan tentang seorang anak sekolah minggu gue. Yeah, buat kalian yang belum tau, ini sekaligus jadi pengumuman bahwa gue adalah seorang guru sekolah minggu. Kaget ? Bagaimana mungkin gue yang dengan tampang mesum dan kelakuan absurd begini bisa jadi seseorang yang bertugas membawa anak-anak ke Jalan Kebenaran? Jalan setan, masih lebih masuk akal. Setidaknya begitulah komentar temen-temen gw. Gue kasi tau, teman. Ini masuk tahun ke 5 gue jadi laoshi di gereja gue di Bandung ini. Laoshi itu sebutan buat guru dalam bahasa Mandarin. Gereja gue gereja Chinese, pasalnya. Makin shock? Yuk, gw bantu kalian untuk masuk ke dalam decompensatio cordis (gagal jantung) ke cerita selanjutnya.

Tahun ajaran 2012-2013 ini gw megang kelas 2 SD. Total anak yang gue asuh itu 12 orang. Rata-rata manusia. Sebiji diantara mereka ada yang merupakan spesies Goblin. Kerjanya tukang bikin ribut terus. Ada juga yang langsung diimpor dari Madame Tussaud Museum. Bisa senyum sih, tapi terlalu pendiam. Ada juga yang terlihat begitu encim-encim. Baik dari busana maupun gaya bicara. Gue rasa, kalau dosen psikiatri memberi gue tes MMPI (Tes kepribadian yang terdiri dari 567 soal, dan hasilnya terdiri dari 14 lembar berupa grafik), deviasi status mental gue rasanya udah gak ketolong.

Tapi ada 1 anak yang khusus. Yang begitu spesial. Yang entah demi apa Tuhan memberi dia buat gue ajar lebih dari yang lain. Yang benar-benar membuat pelayanan gw tahun ini terasa lebih berbeban dan melelahkan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Nama anak ini Grace (bukan nama sebenarnya). Meskipun sudah kelas 2 SD, ternyata dia masih belum bisa membaca dan menulis. Jangankan menulis sebuah kalimat panjang, menulis sebuah kata saja sangat sulit baginya. Eh, jangankan kata, 3 bulan sebelum ini, ada beberapa huruf konsonan yang dia masih belum familiar. Stress ndak lo? Gw nggak. Gw depresi ringan-sedang. Gw mengetahui ketidakberesan ini ketika setiap kali gue meminta dia membuka ayat Alkitab, dia tidak pernah bisa. Hanya tersenyum saja. Awalnya gue pikir anak ini begitu pemalu. Tapi ternyata Grace ini memang belum bisa menemukan apa yang harus dia cari dalam kalimat.

Hasrat superhero yang gak kesampaian sejak kecil pun muncul dalam diri gue.”Gue harus bisa ngajarin dia membaca!”. Itu yang gue bilang sama diri sendiri. Meski tidak dibarengin tangan mengepal keatas dan bilang “Yes!” sambil lutut ditekuk sih. Maka, ketika kelas sekolah minggu sudah berakhir, gw meminta Grace untuk tetap tinggal sebentar di kelas. “Grace.. Nanti sampein sama mami kamu, kalo mulai minggu depan laoshi mau ajarin kamu membaca ya? Setengah jam saja sesudah sekolah minggu...”, demikian gw katakan sama Grace ini. Dia hanya mengangguk. Okeeey, beres! Minggu depan tinggal ajarin aja nih, pikir gw. Tapi yang namanya mulut manis sama kenyataan itu memang beda,kawan. Minggu depannya begitu kelas bubar, Grace ini langsung menghilang. Gw cari-cari tapi ndak ketemu. Sampai gw menemukan Grace ini sembunyi dibalik pilar bersama ibunya. Ternyata niatan gue tidak disambut baik. Tapi bukan gue namanya kalo ndak keras kepala. Minggu depannya, gw hadang aja ni anak pas mau keluar. Gw kagak mau salaman sama dia (Di sekolah minggu ini, setelah kelas bubar, setiap anak wajib menyalami gurunya). So, dia gak akan bisa balik. Sadis? Ember. Hahahaha

So, mulailah gw ajar. Minggu pertama alfabet. Huruf besar dan huruf kecil. As my guess, she’s still cant. Minggu berikutnya juga masih. Kali ini dengan bernyanyi. Gw ajak dia bernyanyi pake gitar. Masih belum bisa. Minggu berikutnya dengan kertas-kertas berwarna. Wah,masih belum bisa dongs! Dan minggu-minggu berikutnya gw terus mencoba mencari cara supaya Grace ini bisa. Huruf-huruf akhirnya bisa sih, tapi kata masih belum. Segala metode gw lakuin. Mulai dari mengeja seperti INI IBU BUDI dan I-EN-I-NI. INI! Sampai membelikan buku tulis merangkai indah. Semuanya berakhir dengan antukan kepala gw di papan tulis saking depresi nya. Tiga bulan gw ajar, kemajuan yang di dapat hanyalah akhiran –NG yang bisa dikenal dan dibaca ENG. Hanya itu, tidak lebih. Akhiran –AH seperti kata RUMAH ataupun akhiran –AK seperti RUSAK seolah-olah tidak dikenalinya. Dalam ruangan ber AC, baju gw sudah basah oleh keringat. Hanya demi 1 anak.

Sampai kemarin, dengan assessment baru yang gw dapat dari seorang laoshi yang sedang mengambil master dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus pun, tetap menunjukkan tanda-tanda bahwa tidak ada harapan. Menggunakan gambar-gambar dan teknik khusus, seperti tiada ada efek apa-apa. Kecuali suaranya yang bisa lebih keras ternyata.

Gw sudah ngobrol dengan ibunya. Gw sudah nanya, apakah Grace ini memiliki masalah medis. Apa pernah dibawa ke dokter untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang salah darinya. Kata ibunya, belum, dan tidak ada masalah apa-apa. Gw juga sudah bertanya, bagaimana Grace ini belajar di sekolah dan dirumah. Kata ibunya :


  1. Di rumah saya yang ajarin. Bisa kok..
  2. Nilai Bahasa Inggris dan Matematikanya diatas 6,5 kok..
  3. Dia bisa mengikuti kok. Cuma belajarnya mengulang setelah apa yang dikatakan

Hey, ibuuuuu. Bagaimana bisa nilai bahasa inggris dan matematikanya bagus, sedangkan membaca kata dalam bahasa Indonesia saja masih belum bisa? Gw ngamuk sama ibu ini. Terus gw sepak dan tereak depan mukanya (Okay, ini hanya adegan dramatis aja). Tapi gw bener-bener gak terima kata-kata ibu ini. Antara ndak bisa nerima kenyataan, apakah gue yang gagal mengajar atau kata-kata ibu ini yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.


Gw selalu memberikan laporan perkembangan Grace ini sama ibunya. Gw paparin segamblang mungkin kemajuan dan perkembangan Grace yang sedikit sekali, malah terkesan mandek. Ibunya berterima kasih sekali sih sama gue. Tapi yang saya butuhin bukan terima kasih, Ibuuuuu. Saya membutuhkan bantuan ibu untuk ikut memacu motivasi Grace dan mengajarinya... *Nangis dan gantung diri*


Ah......


Semakin kesini, semakin sering suara gw meninggi dan kehabisan kesabaran setiap mengajar Grace. Entah udah berapa kali gw antukin kepala gw di dinding saking frustasinya. Gw gak tau sampe kapan gw masih bertahan mengajarinya. Bener-bener pengen nyerah..


Tapi seseorang yang dekat dengan gue terus memberi semangat dan bilang,”Coba lo tumpang tangan doain dia. Bilang dalam nama Yesus...”. Gw baru ngeh, wajar aja gue frustasi gini. Gw belum pernah ngedoain si Grace ini dari 3 bulan yang lalu. Doa aja gak pernah, apalagi tumpang tangan dalam nama Yesus. Shame on me...


Maka, hari Minggu kemarin, setelah 1 jam penuh frustasi mengajar disertai banjir keringat, gw ajak Grace ini berdoa. Gw tumpang tangan ngedoain dia. Gw menyerah dengan usaha gw, gw minta Tuhan yang turun tangan langsung. Hampir nangis itu pas ngedoain. Gimana enggak, 3 bulan penuh kesombongan gw merasa bisa ngajarin dia, ternyata gak sama sekali. Butuh Kuasa yang melampaui segala akal pikiran gue...


Gw sih yakin ya, gak dengan serta merta minggu depan Grace ini langsung bisa membaca hanya dengan 1 doa itu aja. Butuh step-step lanjutan dan butuh doa-doa lanjutan. Bahkan, mungkin aja Grace baru bisa membaca 1 atau 2 atau 5 tahun dari sekarang, kalau itu memang masterplannya Tuhan. Yang gw dapetin disini adalah, bukan Grace yang belajar. Tapi gw. Tuhan ingin melihat seberapa besar hasrat gw untuk mau Tuhan bentuk supaya ndak sombong, bahwa dengan kehebatan gue, gue bisa membuat Grace ini bisa membaca. Gw juga yakin, Tuhan kayak mau liat, apa iya gw masih mau melayani Dia, meski terlihat tidak ada kemajuan sama sekali. Apalagi Cuma demi seorang anak. Hati gw masih seperti awal pelayanan dulu atau nggak.


Berat yak melayani Tuhan? Apalagi Tuhan yang dilayani ini adalah Tuhan yang besar dan yang meminta totalitas dan kesempurnaan. Dalam hati pengen bilang,”Eh, God.. Gue ini gak sempurna dan berdosa. Mana bisa gue ngasi yang sempurna? Plis deg...”. Tapi gw juga yakin, seyakin-yakinnya. Dia akan bilang, “Hey, Son.. I knew you. Masakan Aku meminta engkau melakukan sesuatu yang tidak bisa kau lakukan? Bukannya ada Aku? Aku yang akan memampukanmu dan memperlengkapimu. Percaya saja padaKu..”

 Kalo Tuhan udah bilang gitu, mau ngomong apalagi?


Bandung, 8 Januari 2013.
*Ketika hujan deras di Bandung. Bahkan, segelas cappuccino hangat pun tidak bisa membawa kehangatan...